Mengikuti kasus Hikmah Satwika Kuncoro Putri, seorang remaja yang saat itu penuh prestasi di sekolah karena memang dari sudut pandang perspektif perempuan selama ini citra perempuan tentang tubuhnya cenderung pada stereotip memiliki penampilan sempurna seperti cantik, putih, langsing.
Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Kecantikan yang tidak diikuti dengan kuatnya dasar agama dan kasih sayang kedua orang tua mengharuskan berstatus tersangka lalu sekarang berstatus terdakwa atas kasus pembuangan jasad bayi yang baru dilahirkannya. Selain menanggung malu akibat perbuatan laki laki hidung belang, terdakwa Hikmah Satwika sekarang masih harus menunggu putusan Majelis Hakim. Apakah majelis hakim Pengadilan Negeri Pacitan akan memberinya hukuman lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum delapan tahun penjara ataukah lebih ringan seperti dalam pembelaannya agar diringankan hukumannya.
Negara Indonesia Negara hukum, bagaimana hukum memandang kejadian itu. Hukum ketika dibentuk berdasar asas filosofis, sosiologis masyarakat, Yuridis hukum berlaku apakah bisa menyasar ke‘pasangan’tanpa nikah. Semuanya kembali lagi ke hukum.
Ririn Subiyanti Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pacitan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekaligus Praktisi Perempuan Muslimah mengikuti perkembangan kasus yang menimpa Satwika mengatakan untuk berkomentar serasa kehabisan kalimat karena saking sedih prihatin membayangkannya sampai kehilangan naluri seorang ibu rela membuang dengan cara begitu yang pada ujung ujung nya pengapnya penjara harus dirasakannya sendirian.
Menurut Ririn Subiyanti kasus Satwika tersebut harus menjadi pembelajaran bagi para orang tua dan juga remaja putri lainnya agar tidak terjerumus pada hal yang serupa. Diapakanpun akhirnya kembali ke resiko yang harus di tanggung oleh perempuan dalam hal ini terdakwa terlepas dari siapa yang salah.
“Artinya semua salahkan, tapi Cuma akhirnya resiko terbesar ditanggung perempuan. Toh kalau sudah seperti itu siapa yang harus bertanggung jawab, siapa yang harus dikejar kan gitu ya.”jelasnya.
Apalagi terdakwa sudah dewasa dan itu dilakukan dengan sadar dilakukan berkali kali mungkin juga dengan berganti ganti orang. Melihat resiko yang harus ditanggung perempuan sendiri itu seakan tidak adil. Beban itu harus ditanggung bersama dengan semua laki laki yang sudah membuat masa depannya hancur.
“Namun lagi lagi itu tidak mudah untuk urusan dunia. Belajar dari kasus tersebut bisa menjadi perhatian bagi kaum perempuan lebih hati hati, lebih waspada dan lebih protektip terhadap diri sendiri. Terkait hal ini karena memang resiko terbesar ada di perempuan.”terangnya.
Sementara Jayuk Susilaningtyas Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga berencana dan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pacitan menanggapi kasus itu ikut prihatin.
Perempuan memang harus membentengi diri, kalau sebagai perempuan kekeh tidak melayani tidak akan terjadi seperti itu. Kemudian bagi orang tua harus memberikan pengawasan terhadap anak. Terutama pengawasan ketat dalam penggunaan media sosial.
“Perempuan itu makhluk lemah dalam artian kurang akalnya di banding laki laki sehingga seharusnya perempuan itu di lindungi dalam kedudukan hukum islam. Perempuan itu kan ada di dalam tanggungjawab ayahnya. Jika ayahnya saja sudah tidak peduli, tidak memberikan kasih sayang hanya karena anak perempuannya nakal jangan harap kemudian mendapatkan anaknya akan baik baik saja dalam memilih teman pergaulan.”pungkasnya.
Reporter/Penulis:Asri